Jumat, 30 November 2012

SIKAP AHLUS SUNNAH DALAM BERMUAMALAH DENGAN PEMERINTAH (Syaikh Syadi bin Salim Nu’man)

MUQADIMAH

 
Beliau adalah Dr. Abu Hafsh Syadi Muhammad Salim bin Nu’man, meraih gelar doktor dalam bidang hadits, banyak bermulazamah dengan Syaikh Abul Hasan Musthofa As Sulaimany di Markaz Darul Hadits Ma’rib Negeri Yaman. Beliau juga adalah seorang mudir Markaz An Nu’man Lil Buhuts Wat Tahqiq Wat Turjumah yaitu sebuah lembaga yang mengoreksi dan meneliti manuskrip karya ulama. Beliau banyak menulis dalam masalah hadits dan cabanganya. Diantaranya tahqiq atas kitab At Tsiqat karya Al Hafidz Zainuddin Qosim, dan paling besar adalah Mausu’ah Imam Al Albani atau Jami’ At Turats Al Albani. Kitab ini mengumpulkan berbagai karya dan pendapat Imam Al Albani dalam berbagai bidang ilmu yang diambilkan dari kitab dan rekaman beliau. Kitab ini rencana disusun dalam 50 (lima puluh) jilid, dan alhamdulillah sekarang telah selesai 9 (sembilan) jilid. Semoga Alloh Ta’ala memberikan kemudahan bagi beliau untuk menyelesaikan tulisan tersebut.

Dalam kesempatan bulan ini (Juni 2011)beliau berkunjung ke indonesia dan mengunjungi beberapa tempat dari Jakarta, Sumatra, Batam dan terakhir di Sragen Solo. Dalam muhadloroh beliau di Masjid Raya Al Falah Kota Sragen menyampaikan seputar Kaidah-kaidah Penting Dalam Menyikapi Pemerintah. Juga menjawab beberapa pertanyaan penting seperti berbagai kerusuhan di negeri arab termasuk Yaman, hukum hormat bendera dan sebagainya. Sebagai penerjemah dalam muhadloroh ini adalah Ust Abul Abbas Thobroni.

Kajian ini dibuka dengan sambutan dari Ust Abu Kholil Mujahid Pimpinan Ma’had Darussunnah Sragen dan diberi pengantar Oleh Syaikh Abu Ali Muhammad Az Zabidy (Imam Markaz Darul Hadits Ma’rib Yaman). Silahkan simak kajian berikut semoga bermanfaat.

SIKAP AHLUS SUNNAH

DALAM BERMUAMALAH DENGAN PEMERINTAH

Syaikh Syadi bin Salim Nu’man


Pembukaan

Syaikh membuka ceramahnya dengan memuji Alloh Ta’ala dan bersholawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam kemudian mengucapkan rasa terimakasih beliau kepada lajnah yang telah menyelenggarakan acara ini, dan kepada guru beliau Syaikh Abul Hasan As Sulaimani. Beliau juga berterimakasih kepada murid-murid Syaikh Abul Hasan dari Indonesia yang telah membawa beliau berkunjung ke berbagai kota di Indonesia.

Alloh Ta’ala Menurunkan Penyakit Bersama Obatnya

Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menurunkan suatu penyakit di dunia ini kecuali Alloh Ta’ala juga menurunkan obatnya. Adapun penyakit yang sangat parah yang muncul di zaman ini adalah penyakit jeleknya pemahaman. Terlebih lagi jeleknya dan rusaknya pemahaman dalam tata cara bermuamalah dengan pemerintah. Sehingga hal ini menyebabkan perpecahan dan menjadikan umat berkelompok-kelompok dan akhirnya lemahlah kaum muslimin pada zaman ini.

Sebagaimana disebutkan tadi bahwa Alloh menurunkan penyakit pastilah bersama obatnya. Dan telah disebutkan didalam hadits tentang (adanya sebuah) penyakit dan kemudian dijelaskan pula obatnya. Sebagaimana contoh adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa salam dalam hadits Irbadl bin Sariyah:
فَإِ نَهُ من يعِش منكم بعديْ فسير ى ا خطِلا فاً كثرًا

“Barangsiapa yang hidup sesudahku akan mendapatkan perselisihan yang sangat banyak “

Maka (yang disebutkan) ini sebuah penyakit. Kemudian setelah disebutkan penyakitnya, disebutkan pula obatnya yaitu “wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafaur rasydin yang diberi petunjuk. Pegang erat dan gigit dengan gigi geraham.

Sesungguhnya sebab pertama terpecahnya kaum muslimin adalah jeleknya pemahaman tentang bagaimana hukum bermuamalah dengan pemerintah. Sehingga dengan adanya hal tersebut menyebabkan timbulnya syubhat dikalangan kaum muslimin. Sebagaimana kita ketahui pula bahwasannya munculnya orang-orang yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin dan melakukan pemberontakan sehingga menyebabkan Utsman bin Affan ternbunuh, adalah disebabkan adanya kesalahan dalam memahami dan tidak mengerti bagaimana cara bermuamalah dengan para pemimpin.

Bertolak dari Sabda Nabi Shalalahu ‘Alaihi wa Salam “wajib atas kalian semua utk berpegang teguh terhadap sunnahku” , maka InsyaAlloh pada hari ini kita akan mempelajari bagaimana petunjuk Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya didalam masalah bermuamalah dengan para pemimpin.

Dalam hal ini, kita tidak diperbolehkan berbicara berdasarkan hawa nafsu dan akal semata tanpa adanya dalil. Karena kebodohan dalam hal ini akan mengakibatkan kerusakan yang sangat banyak, baik pada diri pribadi dan tetapi juga pada orang lain. Maka dari itu, pembahasan kali ini akan dibagi dalam beberapa point penting berdasarkan dalil dari Al Quran dan As Sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam.

Wajib taat kepada pemimpin selain pada kemaksiatan kepada Alloh

Masalah penting yang pertama adalah wajib mendengar dan taat kepada pemimpin selama tidak bermaksiat kepada Alloh Ta’ala. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa: 59)
Berkata Imam Nawawi, bahwa maksud dari ulil amri didalam ayat tersebut adalah mereka yang wajib untuk ditaati dari kalangan pemimpin dan hakim-hakim.

Ini adalah dalil yang sangat jelas tentang wajibnya taat kepada pemimpin muslim pada perkara yang bukan merupakan kemaksiatan terhadap Alloh. Adapun dalam hal bermaksiat kepada Alloh maka tidak ada ketaatan padanya.

Dan dari hadits Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dalam hal ini adalah hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dan Muslim : “Wajib bagi setiap muslim untuk mentaati pemerintah yang muslim. Dan jika diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada ketaatan dan kepatuhan”.

Sebagian manusia beranggapan bahwa dalil yang ada, hanyalah ditujukan pada pemimpin muslim yang adil saja, akan tetapi bagi pemimpin yang melakukan kedzaliman maka tidak ada ketaatan kepada mereka. Anggapan yang seperti ini adalah anggapan yang keliru. Karena dalil yang ada dalam Al Quran dan As Sunnah bersifat umum baik pemimpin yang adil maupun yang dzalim.

Ada satu hadits yang patut kita renungkan terkait dengan hal ini. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Salamah bin Yazid as Syu’bi dia bertanya:

يا نبي الله أرأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعونا حقنا فما تأمرنا فأعرض عنه ثم سأله فأعرض عنه ثم سأله في الثانية أو في الثالثة فجذبه الأشعث بن قيس وقال اسمعوا وأطيعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم

“Wahai Nabiyullah, bagaimana pendapatmu jika kami punya amir (dimana mereka) meminta haknya dari kami akan tetapi mereka menahan hak kami?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya, dan kemudian ia (Salamah) bertanya kembali dan beliau berpaling, sampai hal tersebut terulang dua kali atau tiga kali. Asy’ats bin Qais pun kemudian menarik Salamah. Maka beliaupun menjawab : “(Hendaklah kalian) dengar dan taati mereka, karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat, dan atas kalian apa yang kalian perbuat” [HR. Muslim no. 1846].

Dan hadits lainnya dari Imam Muslim, Rasulullah bersabda:
يَكُوْن بَعْدِيْ أَئِمَّة لاَ يَهتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُوْنَ بِسُنَّتِيْ وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رجَال قُلُوْبُهُم قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنَ فِيْ جِثْمَانِ إِنْسِ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتَطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأطِعْ

“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847].

Wajibnya taat dan patuh kepada pemimpin yang muslim baik yang adil maupun dzalim. Jika kita melihat kepada kitab para ulama maka kita akan mendapati mereka mencamtumkan bab wajibnya taat kepada seorang pemimpin kedalam masalah Aqidah Ahlus sunnah wal jamaah.

Tercelanya memberontak kepada pemerintah

Diantara aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah harom memberontak kepada pemerintah muslim. Dan dalil dalam masalah ini banyak diantaranya hadits dari Ubadah bin Shamit yang dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim.
عَن عبَادَةَ ابن الصَامت – رَضيَ الله عَنه -، قَالَ : دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان

Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah” [HR. Al-Bukhari no. 7005 dan Muslim no. 1709].

Kita membaiat Rasul dan diantara poin yang disebutkan dalam baiat tersebut adalah wajibnya kita mendengar dan taat kepada penguasa dan tidak mencabut ketaatan dari para pemimpin sehingga kita memberontak kepada mereka.

Yang perlu kita perhatikan disini yaitu, bahwa Rasul ketika membaiat maka beliau terus memperhatikan masalah wajibnya taat kepada pemimpin meskipun pemimpin tersebut dzalim dan diharomkannya memberontak kepada mereka.

Bahwasannya hadits yang berbicara tentang haromnya memberontak kepada pemimpin tersebut bukanlah dikhususkan kepada memberontak dengan pedang saja. Akan tetapi juga termasuk bentuk kegiatan apa saja yang menyebabkan manusia lari dari pemimpinnya. Entah berupa ceramah, selebaran, atau apa saja dari hal-hal yang bisa menyebabkan manusia membenci pemerintahnya maka bisa disebut pemberontakan.

Diantara kelompok khawarij yang dikenal adalah kelompok Al Qo’idiyah. Mereka dikatakan khowarij padahal tidak melakukan pemberontakan kepada pemerintah dengan pedang. Tetapi mereka duduk dan membicarakan kejelekan pemerintah sehingga masyarakat benci kemudian keluar untuk memberontak kepada pemerintah mereka, maka dengan inilah mereka disebut khowarij.
Taat Terhadap Pemerintah Bukan Berarti Ridlo Terhadap Maksiat Yang Mereka Lakukan.
Setiap maksiat yang mereka lakukan kita akan mengingkarinya. Tetapi walaupun demikian kita tidak memberontak dan melepaskan ketaatan kita kepada mereka. Sebagaimana ini adalah bantahan terhadap para pemuda yang mengatakan bahwasanya orang atau kelompok yang taat kepada pemerintah berarti mereka telah ridlo terhadap kemaksiatan yang berkembang di masyarakat.

Maka pemahaman yang seperti ini adalah pemahaman yang sangat keliru, karena disebutkan dalam suatu hadits, Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi wa salam bersabda sebagaimana yang dikeluarkan oleh Al Imam Muslim:
ألا من ولي عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدا من طاعة
“Ketahuilah, barangsiapa diperintah atasnya (oleh) seorang wali (imam/pemimpin), kemudian dia melihat (imam/pemimpin tersebut melakukan) kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membenci kemaksiatan kepada Allah (yang dilakukan imam/pemimpin tersebut). Dan tidak boleh baginya melepaskan tangan (keluar) dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855].

Jadi wajib kita taat dalam perkara yang ma’ruf dan kita tidak boleh taat pada perkara maksiat. Dan kita tidak boleh juga, setiap mendapatkan maksiat yang ada pada pemimpin kita, kemudian kita memberontak kepada mereka.

Dan bahwasannya kita juga akan menjumpai diantara ustadz-ustadz kita yang telah mengerjakan amar ma’ruf nahi munkar, berdakwah dan mengajarkan pada manusia. Yaitu dengan mengajarkan hal yang ma’ruf dan mengingkari kemungkaran yang telah berkembang pesat dihadapan masyarakat kita. Demikian juga, barangsiapa yang membaca biografi salah satu ulama besar pada abad ini, yaitu Syaikh Bin Baaz maka akan mendapatkan bahwasanya beliau adalah orang yang sangat keras dalam pengingkaran setiap maksiat, dan beliau telah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar namun demikan beliau juga tetap taat kepada penguasanya.

Tata Cara Mengingkari Kemungkaran Pemimpin.

Kita tidak pungkiri bahwasanya pemerintah telah terjatuh dan melakukan kemungkaran. Hal ini perkara yang tidak bisa kita ingkari. Dan kita juga tidak mengingkari akan wajibnya amar ma’ruf dan berdakwah, karena ini adalah ciri kemuliaan atau baiknya umat Islam. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali ‘Imran: 110)

Dalam ayat menunjukkan bahwa umat Islam merupakan umat yang mulia. Kenapa? Karena mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Tetapi, mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, memiliki syarat-syarat dan kaedah-kaedah yang harus ditunaikan, supaya ketika kita mengingkari kemungkaran tersebut tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dari sebelumnya.

Ahlul Ilmi menyebutkan dua syarat dalam mengingkari kesalahan penguasa. Dan dua syarat ini datang dari hadits yang shahih, bahwasannya Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat). Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya” [HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi].

Dalam hadits ini ada dua syarat:

1. Syarat yang pertama adalah, hendaknya dia mengambil tangannya. Yaitu, dia harus berbicara atau mengingkarinya dengan bahasa dan cara yang lembut dan akhlak yang mulia. Tidak berbicara dengan keras.

2. Syarat yang kedua, Tidak menampakkan dihadapan umum. Yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi. Tidak boleh kita sebarkan kesalahan penguasa diatas mimbar, atau di media, atau di selebaran-selebaran.
Larangan mencela dan mencaci maki penguasa

Ulama telah banyak menjelaskan masalah ini. Diantara penjelasan tentang hal ini adalah apa yang disebutkan oleh Abu Darda’ Radliallohuanhu, beliau berkata: “Jauhilah oleh kalian dari mencela para penguasa”.

Sesungguhnya kaidah-kaidah didalam masalah ini sangat banyak dan kita fokuskan pada kaidah utama yang telah disepakati oleh para ulama. Dan diantaranya adalah apa hikmah disyariatkan untuk taat kepada penguasa.

Setiap kita bertanya kepada para pemuda yang bersemangat didalam mengingkari kemungkaran dengan cara meledakkan bom, atau dengan cara merusak atau berdemonstrasi di jalan-jalan, “apa dalil kalian melakukan hal seperti ini?”, maka mereka berkata bahwa yang menyebabkan mereka melakukan hal ini adalah dikarenakan banyaknya kemungkaran yang dilakukan oleh para penguasa.

Maka kita jawab, apakah kalian lebih semangat memerangi kemungkaran daripada mentaati Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya? Yang mana Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menyebutkan bahwa kemungkaran itu pasti ada. Tetapi Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulnya tidak menghendaki kalian untuk keluar, memberontak, atau meledakkan bom walaupun mereka melakukan kemungkaran.

Mereka juga berkata, bahwa apa yang mereka lakukan ini adalah salah satu bentuk memperkecil keburukan yang ada. Maka kita katakan, apakah kalian lebih mengetahui bagaimana mafsadat dan madlorot dalam mengingkari kemungkaran daripada Alloh dan Rasul-Nya? Apakah kalian lebih mampu daripada Alloh dan Rasulnya? Padahal dalam menghadapi hal seperti ini, Alloh dan Rasulnya tidak memperintahkan kita untuk melakukan pemberontakan kepada penguasa. Tetapi memerintahkan kita untuk senantiasa taat.

Kemudian harus kita ketahui bahwasannya Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tidak mungkin melarang sesuatu kecuali didalamnya ada suatu mafsadat. Ada kerusakan yang sangat besar. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa salam melarang kita dari khuruj (memberontak)penguasa. Dari larangan ini dilakukan karena tidak lain didalam pemberontakan terdapat kerusakan yang sangat besar.

Demikianlah sampai disini penjelasan Syaikh tentang bagaimana sikap Ahlus Sunnah dalam bermuamalah dengan pemerintah. Sebelum menutup ceramahnya, Syaikh mengatakan bahwa sesungguhnya pembahasan kita sekarang ini adalah pembahasan yang sangat panjang. Namun kerena keterbatasan waktu dan kita akan masuk pada sesi tanya jawab maka kita cukupkan pembahasan kali ini. Semoga apa yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi kaum muslimin dan kami memohon maaf jika banyak kekurangan dalam menulis ulang ceramah syaikh. Semoga bisa menjadi amal sholeh kami. Wallohu Ta’ala A’lam, walhamdulillahirrobbil ‘alamiin.





Selesai ditulis di Kebakkramat, Karanganyar

Ba’da Isya, 11 Sya’ban 1433 H / 1 Juli 2012

Oleh Candra bin Dwidjo

-semoga Alloh Ta’ala mengampuni dosa-dosanya dan kedua orang tuanya-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan saran dan kritiknya