Kamis, 04 Agustus 2011

Majelis Ngobrol

     Awal Romadhon tahun lalu, sekitar seminggu setelah kematian bapak, saya mengajak ibu datang ke pengajian yang sering dijuluki sebagai pengajian "salafi" (padahal penamaan pengajian salafi ini tidak disukai oleh sebagian ustadz salafi) di sebuah Masjid yang akhirnya menjadi markaz dakwah salafi di Pekalongan, alhamdulillah. Betapa senangnya hati ini ketika mengetahui ibu menyambut ajakan saya untuk datang ke pengajian tersebut, saya bergembira karena berharap ibu mendapat hidayah melalui pengajian itu. Karna bapak qodarulloh meninggal dan belum sempat menerima ajakan saya untuk mendatangi pengajian, yang diharapkan bisa sebagai wasilah bagi beliau untuk mendapat hidayah.
     Ala kulli hal, materi yang disampaikan oleh seorang ustadz pimpinan ponpes di Jawa Barat sangatlah menarik. Beliau menjelaskan tentang tafsir surat Al Ashr.
"Bagaimana bu pengajiannya?" Tanya saya kepada ibu seusai pengajian.
"Bagus, yang datang banyak juga ya yang arab." Jawab ibu.
"Iya, wong yayasannya juga dibentuk oleh orang-orang arab." Kataku menimpali.
"Tapi sayang mas (mas adalah panggilan ibu kepadaku) banyak yang ngobrol saat pengajian, padahal waktu ibu ikut pengajian ****** (nama sebuah ormas Islam) pesertanya diam ndak ada yang ngobrol, kok di sini malah suka ngobrol sendiri ya?" Keluh Ibu.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
     Setahun berlalu, dan informasi yang sama saya dapat dari istri saya,
"Zauji, ummahat kalo kajian kok pada ngobrol ya?" Keluh istri saya suatu saat.
"Apa iya?" Saya balik bertanya
"Iya, mereka suka ndak ndengerin kajian, malah ngobrol sendiri-sendiri." Istri saya melanjutkan.
"Jangan ditiru, kita datang ke kajian bukan untuk ngobrol ya..." Saya mencoba menasehatinya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
     Dua keluhan saya terima dari dua orang yang cukup saya percaya pengakuannya, ibu dan istri. Kenyataan seperti ini yang membuat saya mengelus dada, ketakutan dakwah yang haq ini akan tercoreng karena perilaku yang tidak pada tempatnya dari justru beberapa pelaku dakwah itu sendiri . Jangan sampai orang yang baru awal mengaji kemudian malah lari menjauh, karena ia mendapati majelis pengajian tak ubahnya seperti majelis ngobrol....

waallahul muwafiq....

Kota Berkembang, Jelang Berbuka, 4 Romadhon 1432 H
-AQ-

2 komentar:

  1. Pengalaman saya mencermati da'i salafi ketika baru memulai dakwahnya di suatu wilayah, kebanyakan da'i gak sabar langsung masuk pada persoalan sunnah-bid'ah pada peserta taklim yg rata2 masih awam..

    Hadeuh..kenapa harus langsung to the point begitu.. padahal kesempatan2 awal seharusnya digunakan untuk saling ta'aruf, membahas persoalan2 yg lebih umum, tanya jawab,...Persoalan ummat bukan cuma sekedar sunnah-bid'ah..

    Akibatnya di pertemuan2 selanjutnya jamaah mulai sepi... materi sangat membosankan..tak jarang yg balik membenci.. bukan kesalahan manhaj salafnya, tapi karena da'i :
    - tidak kreatif
    - tidak luwes

    sehingga kesempatan baik di awal2 kadang berbalik menjadi bumerang.. ..

    Saya ingin membagi kisah da'i salaf spesialis Hadits lulusan Madinah yg berhasil membuat masyarakat di suatu desa di Maluku Utara akhirnya meninggalkan tradisi tahlilan, 7 hari 14 hari dst.. dan masyarakat malah semakin mencintai da'i tersebut..

    Mau tau caranya? da'i tersebut justru rajin mendatangi majelis2 bid'ah tersebut selama setahun..selanjutnya silahkan pikirkan sendiri bagaimana caranya da'i tersebut akhirnya berhasil menghentikan kebiasaan yg sudah mengakar kuat..

    Selama da'i salafi masih kaku, gak kreatif, gak "gaul"..langsung asal tubruk membid'ahkan kebiasaan masyarakat di suatu tempat, menciptakan perbedaan2 yg kontras, siap2 aja ditendang dan hati masyarakat tertutup sehingga kesempatan kedua bakal lebih susah.

    Makanya gak heran, ummahat-nya aja ngobrol..apalagi yg awam

    BalasHapus

Silakan saran dan kritiknya