Rabu, 03 Agustus 2011

Ndak Pacaran, Ndak Nikah....

     Sekitar enam atau lima tahun yang lalu, seorang teman berkunjung ke kamar kos saya. Kebetulan waktu itu saya nge-kos karena sekolah di luar kota. Pendek cerita, kami terlibat pembicaraan mengenai pacaran dan pernikahan. Teman saya ini, menjelaskan bahwa  untuk menikah tidak perlu pacaran terlebih dahulu. Serta merta saya -yang minim akan bekal agama- tidak bisa menerima, bagaimana mungkin bisa menikah tanpa pacaran?? Mustahil! Karena dalam benak saya saat itu bahwa pacaran adalah media untuk menuju pernikahan, ibarat hendak mencangkul tanpa cangkul, mustahil.... Tetapi rupanya teman saya ini tetap bersikukuh, bahwa pacaran dan pernikahan itu berbeda, tidak ada kaitannya. Alhasil, sekitar satu atau dua tahun kemudian teman saya ini menikah, dan ia membuktikan omongannya, menikah tanpa pacaran!
     Waktu terus berjalan, detik berganti detik, hingga tahun berganti tahun. Sekitar sebulan yang lalu, saya ditanya oleh seorang teman (bukan teman yang diatas), "Khi sudah siap nikah belum?". Sebenarnya, pertanyaan dengan model seperti ini sudah sering saya terima, namun selalu saja saya anggap angin lalu dan tidak pernah saya respon. karena bagi saya menikah butuh persiapan yang tidak sedikit. Namun entah mengapa, waktu itu saya segera merespon dengan jawaban, "Insya Alloh siap khi."


     Entah apa yang ada dibenak saya waktu itu, hingga terlontar jawaban demikian. Nekat?? Mungkin... Bagaimana tidak, secara ekonomi jelas saya jauh dikatakan layak, sebagai pegawai tidak tetap gaji saya jauh dibawah UMR (Upah Minimal Regional), secara agama?? apalagi, saya ini awam, belum juga pernah mengaji soal bab pernikahan dengan intensif. Hafalan qur'an? Dari 30 juz saya hanya hafal juz ke 30, itupun yang pendek-pendek. Mengenaskan....? memang! Namun, satu alasan yang mendasari "kenekatan" saya adalah fitnah wanita yang begitu dahsyat menerpa, dan tidak ada obatnya kecuali menikah!!!
     Akhirnya, 3 hari setelah penawaran itu, saya menjalani proses yang dinamakan dengan nadzor yakni melihat calon istri. Ini disyariatkan dalam agama karena tidak boleh kita bagi kita untuk ibarat beli kucing dalam karung. Alhamdulillah, proses nadzor berjalan lancar. Gadis tersebut ternyata bekerja satu atap dengan saya, hanya saja kami tidak saling kenal karena memang kami terpisah antara laki-laki dan wanita. Satu hal yang membuat keringat dingin ini berjatuhan, ternyata ia lulusan pondok dan bercadar! Masya Alloh... Hafalan qur'an-nya jauuuuh melebihi saya. 
     Singkat cerita, seminggu kemudian saya datang menemui orang tuanya, "Kalau kami, sebagai orang tua nurut saja apa kata anak, nak." Lima hari kemudian saya datang lagi bersama keluarga untuk meminang. Enam hari setelahnya, akad nikah pun dilangsungkan. Allohu Akbar! Proses menuju pernikahan kurang lebih hanya 2 minggu! Kata teman saya, "Ekspres khi."
     Ala kulli hal, Kini saya membuktikan omongan teman saya, enam tahun yang lalu, bahwa menikah tidak butuh pacaran.... 




Kota Berkembang, ba'da ashar, 3 Romadhon 1432 H
-AG-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan saran dan kritiknya