Hari itu ana resmi ditahan di sebuah Rutan (Rumah Tahanan) di salah
satu Polres. Ana terjerat kasus pencemaran nama baik seorang Habib dan
Undang-undang ITE. Setelah ana selesai menandatangani Surat Penahanan,
ana pun dibawa oleh salah seorang penyidik (polisi) menuju kamar tahanan
yang tidak jauh dari ruangan tempat ana diproses. Berat langkah ana
menuju kamar tahanan tersebut, sedangkan hati saat itu terasa
berdebar-debar karena sesaat lagi ana akan merasakan suatu kehidupan
yang belum pernah ana rasakan seumur hidup ana, kehidupan yang dapat
merubah segalanya, kehidupan yang hanya ada di angan-angan, namun sesaat
lagi akan menjadi kenyataan. Adapun keluarga ana, yaitu istri, orangtua
dan kedua anak ana yang masih kecil tampak sedih mengiringi langkah ana
menuju kamar tahanan itu. Ana berusaha untuk tenang dan tidak
menampakan kesedihan agar keluarga ana tidak semakin larut dalam
kesedihannya. Ana tidak membawa apapun ke ruang tahanan, yang ana bawa
hanya pakaian yang menempel di badan.
Akhirnya sampailah ana di depan kamar tahanan. Kamar tahanan itu
dijaga oleh beberapa petugas polisi. Penyidik yang membawa ana
memberikan surat penahanan kepada petugas tersebut. Setelah itu sang
petugas memberitahukan kepada ana tentang segala peraturan di dalam
kamar tahanan, diantaranya adalah pakaian yang boleh dibawa masuk
maksimal 2 stel yaitu 1 stel yang menempel di badan dan 1 stel yang
disimpan, tidak boleh memakai baju lengan panjang dan celana panjang
(termasuk sarung), jadi wajib memakai celana pendek, dilarang memiliki
uang, alat komunikasi (termasuk hp), merokok, memakai alas kaki, senjata
tajam atau yang dapat melukai (seperti besi, pecah belah), berkelahi,
dsb. Petugas menyuruh membuka jaket dan celana panjang yang ana kenakan
sekaligus memeriksa seluruh badan ana. Ana katakan kepada petugas,
“Bagaimana saya shalatnya pak?” Petugas menjawab, “Kamu pakai celana
pendek, ini peraturan dan darurat, kalau kamu tidak punya celana pendek
maka celana panjang kamu akan saya gunting jadi celana pendek!” “Baik
pak, saya punya celana pendek…” jawab ana, untung saja ana memakai
celana pendek untuk dalaman yang panjangnya dibawah lutut, sehingga ana
masih bisa menutupi paha dan lutut ana. Tinggallah kaos dan celana
pendek yang ana miliki saat itu sebagai bekal selama ana di dalam
tahanan. Ana sudah tidak peduli lagi terhadap apa yang ana miliki, yang
ana pedulikan saat itu adalah keselamatan untuk diri ana dan keluarga
ana yang ditinggalkan. Selama ini ana hanya mendengar tentang cerita
atau pengalaman orang yang masuk penjara berupa cerita-cerita yang
menakutkan dan menyedihkan, cerita yang tidak jauh dari penindasan dan
pemerasan. Akankah hal itu ana alami sesaat lagi?
Petugas mengantar ana sampai ke depan pintu kamar tahanan, pintu yang
terbuat dari jeruji besi yang tergembok besar. Petugas membuka pintu
itu dan menyuruh ana masuk ke dalamnya. Ana pun memasukinya dan pintu
itu ditutup kembali. Ana telah pasrah terhadap apa yang akan terjadi
pada diri ana nanti. Ana sekarang sudah berada di dalam sebuah kehidupan
yang selama ini hanya angan-angan dan hanya ana lihat di media atau
film saja. Ana akan hidup bersama para penjahat-penjahat dan tinggal
bersama mereka entah sampai kapan, padahal selama ini ana selalu
menjauhi dan membenci perbuatan mereka. Suasana mulai terasa menyeramkan
dan menegangkan. Ana langkahkan kaki ini pelan-pelan untuk masuk ke
dalam kamar tahanan itu. Masih berupa lorong yang panjangnya hanya
beberapa meter saja. Rupanya masih ada pintu jeruji besi lagi yang harus
ana masuki di dalam lorong itu untuk menuju ke dalam kamar tahanan. Ana
pun menghampiri pintu itu untuk mengetahui isi dibalik pintu tersebut.
Ketika ana mendekati pintu tersebut, rupanya dibalik pintu itu sudah
dipenuhi oleh para tahanan yang telah menanti kedatangan ana. Jumlah
mereka sangat banyak, ada sekitar 50 orang lebih. Mereka memenuhi
disetiap sisi untuk melihat dan menyambut kehadiran ana. Ana melihat
wajah-wajah mereka sangat menyeramkan, bahkan lebih seram dari hantu
menurut ana. Mereka memasang wajah yang sedang marah dan menakut-nakuti,
sama sekali tidak ada kesan ramah, apalagi senyuman. Mata-mata mereka
melotot menatapi ana seolah-olah ana adalah santapan mereka. Ditambah
lagi hal yang sangat menegangkan adalah, mereka semua mengeluarkan
suara-suara teriakan dan kata-kata kotor atau umpatan, seolah-olah
mereka akan mengeksekusi ana. Seperti masuk ke dalam kandang binatang
buas, atau hutan belantara, bahkan menurut ana ini lebih menyeramkan
dari hutan belantara. Ana sudah terbiasa masuk ke dalam hutan belantara
dalam segala kondisi, ketika malam hari, hujan deras, sendirian, dan
lainnya, tapi tidak menyeramkan seperti ana masuk ke dalam kamar tahanan
ini. Suasana saat itu begitu berisik karena teriakan-teriakan mereka
yang menakut-nakuti ana, juga mengumpat atau mencela ana dengan
kata-kata kotor dan penghinaan. Sekilas ana perhatikan wajah-wajah
mereka, terlihat wajah-wajah yang tidak bersahabat, terkesan angker,
gelap (tidak bercahaya). Kebanyakan dari mereka tubuh-tubuhnya dipenuhi
oleh tatto, dari badan, tangan maupun kaki, bahkan ada yang seluruh
tubuh (kecuali wajah). Karena tatto bagi mereka (narapidana atau
penjahat) adalah hal yang biasa, sebagian mereka menganggap tatto adalah
karya seni, dan sebagian lagi menganggap tatto agar berkesan macho atau
seram. Tubuh mereka juga besar-besar, banyak yang lebih besar tubuhnya
dari ana, layak seperti seorang preman atau bodyguard, atau memang
mereka preman asli.
Kejadian ini benar-benar menguji nyali ana. Baru kali ini ana
berhadapan dengan para narapidana atau penjahat. Dalam pikiran ana hanya
ada dua opsi, yaitu: Pertama, melawan mereka dengan resiko ana bakalan
babak belur oleh mereka karena perbandingannya adalah satu banding lima
puluh, itu adalah opsi yang konyol menurut ana, walaupun opsi ini
terkesan menantang dan lebih berani. Opsi kedua, yaitu tunduk mengalah
dan mengikuti mereka demi keselamatan. Opsi ini menurut ana terlalu
memalukan bagi seorang laki-laki yang punya harga diri, kenapa harus
tunduk kepada orang-orang zhalim seperti mereka?! Namun apa daya saat
itu ana tidak memiliki kemampuan memilih opsi yang pertama. Apakah ada
opsi yang lain? Opsi ketiga adakah? Opsi ketiga adalah kabur dari
mereka. Opsi ini sangat mustahil dilakukan. Bagaimana caranya agar bisa
kabur dari mereka? Tidak ada jalan untuk melarikan diri dari mereka,
semua tertutup oleh tembok dan jeruji besi. Ana pun mencoba untuk
mencari opsi yang lain, yaitu opsi yang keempat, perpaduan antara opsi
pertama dengan opsi kedua, yaitu mengalah dan mengikuti mereka selama
mereka tidak menyuruh berbuat maksiat, seandainya mereka menyuruh ana
untuk berbuat maksiat, maka ana lihat sesuai kemampuan ana, semoga saja
ana mampu menghadapi dan melawan mereka, insya Allah. Tidak lupa juga
lisan ana tidak berhenti dari berdzikir kepada Allah agar Allah
memberikan perlindungan ke ana.
Kini ana telah berada ditengah-tengah mereka, dan mereka semuanya
mengerumuni ana. Ana ucapkan kepada mereka “Assalamu alaikum”, sebagian
mereka ada yang menjawab salam ana. Beberapa orang dari mereka membentak
ana “Jongkok loe!!…Ayo jongkok!!”. Ana pun mengikuti perintah mereka
untuk jongkok. Kemudian mereka menyuruh ana jalan sambil jongkok menuju
kamar yang akan ana tempati. Ana pun jalan sambil jongkok melewati
mereka menuju kamar. Sambil melewati ana mencoba untuk bersalaman dengan
mereka. Sebagian dari mereka ada yang mau bersalaman dengan ana, dan
sebagian yang lain menolak bersalaman dengan ana, bahkan mereka
membentak “Udah jalan sana!!!” Benar-benar ana dihinakan di hadapan
mereka. Namun sampai saat itu belum ada yang ‘mencolek’ ana. Sambil
jalan jongkok, ana melewati mereka satu persatu, mereka tidak
henti-hentinya membentak ana, ana hanya mampu melihat kebawah dan tidak
melihat wajah mereka (khususnya mata) karena itu sama saja menantang
mereka. Disebuah dinding ana lihat sebuah coretan tangan yang tertulis
“Welcome to Criminal”.
Sampailah ana di dalam kamar yang akan ana tempati. Sebuah kamar yang
tidak begitu luas, hanya berukuran sekitar 5m x 3m, berisikan sekitar
15 sd 20 orang tahanan. Di Rutan yang ana tempati terdapat 4 kamar
tahanan, masing-masing kamar diisi 15 sd 20 orang tahanan dari segala
macam kejahatan. Sedangkan ana menempati kamar no.3. Ketika ana masuk ke
dalam kamar tersebut, ana lihat beberapa orang tahanan yang sedang
melakukan aktivitas masing-masing, diantaranya ada yang sedang memijat
seseorang layaknya seorang boss (dan itulah kepala kamarnya atau KM),
ada juga yang sedang jadi kipas atau baling-baling dengan berdiri sambil
mengibaskan sepotong kain seperti baling-baling agar kamar tidak panas,
ada juga beberapa orang yang duduk jongkok disudut kamar layaknya
seorang yang dihukum, dan yang lainnya mengelilingi ana. Setelah itu ana
dihadapkan ke KM (Kepala Kamar) untuk diintrogasi. Beberapa tahanan
yang senior menemani KM mengintrogasi ana. Mereka mengintrogasi ana
dengan kasar, namun tidak sampai memukul. Mereka menanyakan semuanya
tentang ana, dari indentitas sampai kasus yang ana alami. Hingga mereka
semua tahu tentang jati diri ana dan kasus yang ana alami yaitu
pencemaran nama baik seorang Habib. Biasanya setiap tahanan yang masuk
dan diintrogasi akan mengalami penindasan dari penghuni kamar, namun
Alhamdulillah sampai sejauh ini belum ada seorang pun yang memukul ana.
Salah seorang dari mereka menyuruh ana untuk membuka baju/kaos yang
ana pakai. Awalnya ana keberatan untuk membuka baju ana, dan ana
memberanikan diri untuk menolak perintah mereka khawatir ana akan
dizhalimi oleh mereka jika ana membuka baju. Tapi mereka tetap memaksa
ana untuk membuka baju, dan ana tetap bersikap untuk menolaknya, apalagi
itu hanya satu-satunya baju yang ana miliki saat ini. Kemudian salah
seorang dari mereka berkata, “Kami mau lihat loe ada tattonya apa
tidak!” Rupanya itu alasan mereka kenapa mereka menyuruh ana membuka
baju. Ana pun akhirnya bersedia membuka baju, dan ana perlihatkan badan
ana ke mereka kalau ana tidak memiliki tatto, kemungkinan jika ana
memiliki tatto akan ada hadiah dari mereka untuk ana berupa “bogem
mentah”. Mereka pun percaya kalau ana tidak memiliki tatto, tapi mereka
malah mengambil kaos ana, padahal kaos tersebut adalah kaos yang ana
sukai yaitu kaos dari komunitas pecinta alam. Ana tanya kenapa kaos ana
diambil? Mereka menjawab, kaos tersebut mau dicuci dulu (dikira mereka
kaos itu kotor) dan mereka memberikan kaos yang lain ke ana untuk
dipakai. Tidak masalah bagi ana, ana pun memakai kaos pemberian mereka.
Selang beberapa menit kemudian, masuk “Kijang Baru” (Tahanan Baru) ke
dalam kamar kami, dia terkena kasus Narkoba. Tidak beda dengan apa yang
ana alami tatkala dia masuk ke dalam kamar tahanan, disuruh jalan
jongkok, dibentak-bentak, diintrogasi, dll. Kijang Baru itu ditempatkan
di sebelah ana dengan posisi jongkok di lantai. Kemudian KM menyuruh ana
untuk pergi atau pindah ke ruangan lain, dan membiarkan kijang Baru itu
berada di tempatnya. Tidak tahu apa maksud mereka menyuruh ana pindah
ke ruangan lain, tapi untuk sementara ana ikuti kemauan mereka. Setelah
ana berada di ruangan yang lain, tiba-tiba terdengar suara dentuman
keras seperti suara pukulan, berulang-ulang suara pukulan itu terdengar.
Ana menyangka bahwa Kijang Baru itu sedang ‘Disekolahkan’ oleh mereka.
Setelah selesai mereka menyekolahkan Kijang baru itu, ana pun disuruh
kembali ke kamar semula. Ketika ana masuk ke dalam kamar, ana lihat
Kijang Baru itu sedang terkapar di lantai kesakitan akibat
‘Disekolahkan’ oleh mereka. Ana merasa iba melihatnya, tapi inilah
penjara. Ana bersyukur kalau ana tidak mengalami kejadian itu,
Alhamdulillah.
Tidak beberapa lama masuk waktu shalat maghrib. Serentak para tahanan
mempersiapkan diri untuk shalat maghrib, dan ada juga beberapa dari
mereka yang tidak shalat karena malas. Shalat maghrib kala itu diimami
oleh seorang ustadz yang disegani di Rutan ini, sesama tahanan juga. Dia
lah ustadz yang terkena kasus menikahi wanita dibawah umur dan tanpa
wali, pesantren yang dia miliki pernah dibakar oleh massa, inisialnya
adalah ust.FA. Posisi ana shalat berada di shaf pertama tepat
dibelakangnya imam. Setelah shalat seperti biasa sang imam melakukan
amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh kebanyakan masyarakat di kita,
yaitu dzikir jama’i, doa jama’i, dan salam-salaman. Dikarenakan ana
tidak melakukan amalan-amalan seperti itu, maka ana cukup mengamalkan
apa yang ana amalkan sendiri. Rupanya diam-diam sang imam memperhatikan
apa yang ana lakukan, dan dia merasa kecewa kalau ana tidak
mengikutinya. Setelah selesai, sang imam atau ust. FA menegur ana kenapa
ana tidak mengikutinya? Ana katakan bahwa ana hanya mengamalkan apa
yang ana tahu dalilnya dan biasa ana amalkan. Mendengar jawaban seperti
itu ust.FA marah dan berkata, “Biasanya yang tidak mau dzkir mengeraskan
suara dan jama’i, tidak mau berdoa mengangkat tangan, dll itu adalah
aliran Wahhabi, aliran Salafi, sesat!!!” Ana kaget mendengar ucapan
ust.FA. Dia pun berkata lagi dengan suara keras dan marah di depan
seluruh jamaah atau tahanan, “Saya tahu kasus yang kamu lakukan. Kamu
telah menghina Habib Fulan! Dia itu ulama, keturunan Nabi! Kamu jangan
berdusta di tempat ini yang membuat kamu akan semakin bermasalah…
Sekarang kamu mau tahu, kalau saya adalah murid dari Habib Fulan yang
kamu cemarkan!!! Berarti kamu juga telah menghina guru saya!!” Ust.
Fulan terus memprovokasi jama’ahnya dan memfitnah ana, sehingga suasana
saat itu semakin ramai. Seluruh tahanan berdatangan mendatangi kami
menyaksikan apa yang sedang terjadi, dan mereka semuanya mengelilingi
ana. Ana saat itu tidak mampu bertindak dan hanya mendengarkan ucapan
ust.FA yang terus memprovokasi jama’ah sehingga semua tahanan menjadi
marah dan mendukung ust.FA. Suasana semakin gaduh dan ramai, suara-suara
teriakan mulai terdengar seperti kejadian ketika ana masuk tahanan.
Para tahanan sudah sangat emosi dan marah terhadap ana, mereka
berteriak-teriak ingin menghabisi ana. “Ayo hajar saja!…Bunuh saja! Awas
ini aliran sesat! Cepat habisi orang ini!!!” dan ucapan-ucapan lainnya.
Kondisi ana semakin tegang, ana pasrah terhadap apa yang akan terjadi
pada diri ana. Puluhan orang tahanan siap menyantap ana pada saat itu.
Hanya kepada Allah saja ana berlindung dan meminta pertolongan kala itu…
Ibarat keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Selamat dari
level pertama di dalam kamar tahanan, sekarang masuk ke level kedua,
akankah ana selamat pada saat itu? Ana tidak menyangka akan bertemu
salah seorang dari murid Habib Fulan yang ana cemarkan di dalam tahanan
ini. Apalagi ustadz tersebut memiliki sifat yang arogan dan memanfaatkan
kondisi yang mendukung. Ana tidak menyangka setega itu dia bersikap
terhadap ana. Ust.FA adalah orang yang disegani oleh para tahanan,
sehingga jika dia meminta sesuatu kepada salah seorang tahanan akan
dituruti dan ditaati. Sekarang dia siap untuk menghabisi ana dengan
fitnahnya dan kezhalimannya. Dan semua tahanan mendukung ustadz
tersebut…
Kondisi semakin parah, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Waktu
berjalan tidak sesuai dengan apa yang ana inginkan. Ana tinggal menunggu
detik-detik penghabisan…pasrah terhadap kejadian ini…tidak ada yang
dapat menolong ana saat itu kecuali Allah Azza wa Jalla…akankah nasib
ana akan seperti Kijang Baru itu yang terkapar kesakitan?
Bersambung, insya Allah…
Oleh Abu Fahd Negara Tauhid
Sumber : http://gizanherbal.wordpress.com/2013/02/21/welcome-to-criminal-153-malam-bag-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan saran dan kritiknya